Tutorial Load Balancing With Fail Over Mikrotik 2.9.6

Sekenario ini dianggap anda sudah menginstall mikrotik dan siap untuk di setting, kalo belum install dulu mikrotiknya pastikan di mikrotik routers sudah terpasang ethernet card
untuk melihat apakah ethernet card yang kita pasang sudah terintegrasi dengan system mikrotik silakan cek dengan mengetik pewrintah ini di consule
/interface print

Skema Jaringan
- lan card 1 untuk koneksi ke speedy1
- lan card 2 untuk koneksi ke speedy2
- Lan Card 3 untuk koneksi ke Jaringan Lokal

beri nama untuk masing-masing ethernet card
untuk memberi nama ether ketik perintah di consule
/interface set 0 nama= speedy1
dan seterusnya

disni kita asumsikan ip dsl modem dari telkom untuk modem 1 ipnya 192.168.0.254 dan modem adsl speedy 2 ipnya 192.168.1.254

Jumlah Komputer Internet: 50 pc -->Network: 192.168.3.0/26 (Ip Address: 192.168.3.1 - 192.168.3.63 Netmask: 255.255.255.192)Jumlah Komputer Games: 50 pc -->Network: 192.168.3.64/26 (Ip Address: 192.168.3.65 - 192.168.3.128 Netmask: 255.255.255.192)



PROMOSI ONLINE !

Read More

ARSITEKTUR MIKROKOMPUTER

Sistem Komputer

Sistem Komputer yang kita ketahui dalam keseharian adalah yang terdapat pada PC. Suatu sistem komputer bekerja dengan ditandai adanya interaksi antara komputer dan peripheral (hadware-nya) dengan program dan sistem operasi (softwarenya).

Komputer (CPU) adalah “otak” dari sistem tersebut sedangkan peripheral menghubungkan “otak” tersebut dengan dunia luar. Kerja suatu sistem komputer dioperasikan oleh sistem operasi dan program.

Suatu sistem komputer terdiri atas tiga bagian utama:
1. CPU (Central Processing Unit)
CPU terdiri atas dua bagian yaitu:

1. CU (Control Unit) :
Ini adalah unit pengendali. Fungsi utama unit pengendali (CU) adalah mengambil, mengkode, dan melaksanakan instruksi sebuah program yang tersimpan dalam memori. Unit pengendali mengatur urutan operasi seluruh sistem. Unit ini juga menghasilkan dan mengatur sinyal pengendali yang diperlukan untuk menyerempakkan operasi, juga aliran dan instruksi program.
ALU (Arithmetic Logic Unit):
Unit ini berfungsi melaksanakan operasi aritmatik serta operasi-operasi logika.

2. Memory Unit (Unit Penyimpan)
Unit-unit ini mengandung program-program yang bersangkutan dan data yang sedang diolah.

3. I/O (Unit Pengontrol Masukan dan Pengeluaran)
Unit ini melakukan hubungan dengan peripheral.

Sistem Mikrokomputer

Bila sebuah komputer dibangun dalam sebuah PCB tunggal maka disebut minikomputer. Dan sebuah CPU yang dipakai dalam sebuah chip semikonduktor disebut mikroprosessor. Mikrokomputer sendiri adalah sebuah komputer yang dikonstruksi dari sebuah mikroprosesor dengan ditambahkan unit memori serta sistem I/O. Sistem mikrokomputer sama dengan yang terdapat pada sistem komputer. Untuk menanggulangi berbagai macam kerja yang harus dilakukan, biasanya diberikan “logika tambahan” atau rangkaian logika lain misalnya tri-state buffer, buffer, decoder, multiplexer.

Ciri utama sistem mikrokomputer : hubungan yang berbentuk “bus”. (Istilah bus diambil dari bahasa latin omnibus yang berarti kepada/untuk semua). Bus menunjukkan hubungan antara komponen-komponen secara elektris. Bus meneruskan data, alamat-alamat (address) atau sinyal pengontrol.

Bagian-Bagian Sistem Mikrokomputer

Di atas telah dijelaskan susunan sistem mikrokomputer. Sistem mikrokomputer terdiri dari bagian-bagian yang berfungsi sama penting.

1. CPU/Mikroprosesor

Mikroprosesor berfungsi sebagai unit pengolah utama (CPU). Unit ini terdiri dari sebuah kalkulator dan unit pengontrol (CU). Unit kalkulator dari mikroprosesor terdiri dari register atau daftar (sebuah memori sementara yang cepat dan kecil), ALU, register status (menunjukkan keadaan sesaat dari perhitungan) dan sebuah pengkode.

2. Memori
a. RAM (Random Access Memory)

RAM adalah unit memori yang dapat dibaca dan/atau ditulisi. Data dalam RAM bersifat volatile (akan hilang bila power mati). RAM hanya digunakan untuk menyimpan data sementara, yaitu data yang tidak begitu penting (tidak masalah bila hilang akibat aliran daya listrik terputus). Ada dua macam RAM yaitu RAM statik dan RAM dinamik. RAM statik adalah flipflop yang terdiri dari komponen seperti resistor, transistor, dioda dan sebagainya. Setiap 1 bit informasi tersimpan hingga sel “dialamatkan” dan “ditulis-hapuskan”. Keuntungan dari RAM statik adalah akses atau jalan masuk yang bebas ke setiap tempat penyimpanan yang diinginkan, dan karena itu kecepatan masuk ke dalam memori terhitung relatif tinggi. RAM dinamik menyimpan bit informasi sebagai muatan. Sel memori elementer dibuat dari kapasistansi gerbang-substrat transistor MOS. Keuntungan RAM dinamik adalah sel-sel memori yang lebih kecil sehingga memerlukan tempat yang sempit, sehingga kapasistas RAM dinamik menjadi lebih besar dibanding RAM statik. Kerugiannya adalah bertambahnya kerumitan pada papan memori, karena diperlukannya rangkaian untuk proses penyegaran (refresh). Proses penyegaran untuk kapasitor ini dilakukan setiap 1 atau 2 mili detik.

b. ROM (Read Only Memory)

ROM merupakan memori yang hanya dapat dibaca. Data tidak akan terhapus meskipun aliran listrik terputus (non-volatile). Karena sifatnya, program-program disimpan dalam ROM. Beberapa tipe ROM:
- ROM Murni : yaitu ROM yang sudah diprogram oleh pabrik atau dapat juga program yang diminta untuk diprogramkan ke ROM oleh pabrik.
- PROM (Programmable Random Access Memory) : ROM jenis ini dapat diprogram sendiri akan tetapi hanya sekali pakai (tidak dapat diprogram ulang).
- EPROM (Erasable Programmable Random Access Memory) : yaitu jenis ROM yang dapat diprogram dan diprogram ulang.


c. Input/Output (I/O)

Piranti Input/Output (I/O interface) dibutuhkan untuk menghubungkan piranti di luar sistem. I/O dapat menerima/memberi data dari/ke mikroprosesor. Untuk menghubungkan antara I/O interface dengan mikroprosesor dibutuhkan piranti address. Dua macam I/O interface yang dipakai yaitu: serial dan paralel. Piranti serial (UART/universal asynchronous receiver-transmitter) merupakan pengirim-penerima tunggal (tak serempak). UART mengubah masukan serial menjadi keluaran paralel dan mengubah masukan paralel menjadi keluaran serial. PIO (paralel input output) merupakan pengirim-penerima serempak. PIO dapat diprogram dan menyediakan perantara masukan dan keluaran dasar untuk data paralel 8 bit.

Sistem Bus

Bus menghubungkan semua komponen dalam unit mikrokomputer. Ada tiga tipe bus yaitu:
- Data Bus (bus-D) : bus dengan delapan penghantar, data dapat diteruskan dalam arah bolak-balik (lebar data 8 bit) yaitu dari mikroprosesor ke unit memori atau modul I/O dan sebaliknya.
- Control Bus (bus-C) : meneruskan sinyal-sinyal yang mengatur masa aktif modul mikrokomputer yang sesuai dengan yang diinginkan menurut kondisi kerja.
- Address Bus (bus-A) : meneruskan data alamat (misal alamat 16 bit), dari penyimpan atau dari saluran masukan/keluaran yang diaktifkan pada saat tertentu.
Hubungan dalam masing-masing bus berupa kabel paralel 8 bit (jalur) maupum 16 bit (jalur).


PROMOSI ONLINE !

Read More

DASAR MIKROPROSESOR DAN MIKROKONTROLER

Munculnya terminologi komputer sebenarnya berawal dari kebutuhan akan suatu alat yang dapat dijalankan secara otomatis, memiliki kemampuan untuk mengerjakan hal yang diinginkan. Perkembangan teknologi semikonduktor, dengan diawali penemuan transistor, telah membawa kepada kemajuan teknologi elektronika sampai saat ini Komputer
Bagian fungsional utama sebuah komputer adalah Central Processing Unit/Unit Pemroses Utama, Memori dan Sistem Input-Output. Disebut bagian fungsional karena ketiga komponen inilah yang membentuk sebuah komputer dengan fungsinya masing-masing. Lebih jauh mengenai fungsi ketiganya akan diterangkan pada bab berikutnya

Central Processing Unit/Unit Pemroses Utama
Mikroprosesor
Mikroprosesor adalah sebuah CPU yang dibangun dalam sebuah single chip semiconductor. Mikroprosesor terdiri dari kalkulator yang terbagi dalam register dan ALU dan sebuah pengkode serta unit pengontrol.

Dalam hubungan kerja dengan pulsa pembangkit berkala, (yaitu sebagai unit terpisah atau sebagai komponen yang terpadu dalam mikroprosesor) unit pengontrol menjamin urutan yang tepat dan urutan yang logis dari siklus yang berlangsung di dalam mikroprosesor, ditinjau dari sistem keseluruhannya
Dalam tinjauan praktis dan aplikasi yang umum contoh dari sebuah mikroprosesor adalah mikroprosesor 8080, 8086, prosesor intel 386, 486, pentium 100 Mhz, sampai dengan generasi terbaru, AMD, prosesor Motorola, prosesor Texas Instrument

Mikrokontroler
Sebuah mikroprosesor yang digabungkan dengan I/O dan memori (RAM/ROM) akan membentuk sebuah sistem mikrokomputer. Terilhami dengan CPU yang dapat dikonstruksi dalam sebuah single chip semiconductor, maka sebuah mikroprosesor, I/O dan memori dapat pula dibangun dalam level chip. Konstruksi ini menghasilkan Single Chip Microcomputer (SCM). SCM inilah yang disebut sebagai mikrokontroler

Mungkin akan timbul pertanyaan, apakah perbedaan antara mikrokomputer dengan mikrokontroler? Selain arsitekturnya, mikrokontroler jika dibandingkan dengan mikrokomputer seperti IBM PC adalah penggunaan I/O interface dan media penyimpanan yang berbeda. Dalam IBM PC media penyimpanan biasa menggunakan disket, maka pada mikrokontroler menggunakan EPROM sebagai media penyimpanan

Sedangkan perbedaan antara mikroprosesor dengan mikrokontroler sudah jelas. Dalam mikrokontroler, RAM serta I/O interface sudah masuk di dalamnya. Ini merupakan satu keuntungan lebih dari mikrokontroler.

Dalam Hal penggunaannya, sistem mikrokontroler lebih banyak dipakai pada aplikasi yang deterministik, artinya sistem ini dipakai untuk keperluan yang tertentu saja misalkan sebagai pengontrol PID pada instrumentasi industri, pengontrol komunikasi data pada sistem kontrol terdistribusi.



PROMOSI ONLINE !

Read More

Ayo Sukseskan Pemilu Damai Indonesia 2009

Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009 mulai 1 Februari sampai 1 Mei 2009. Di tahun 2009 ini Indonesia akan menggelar 2 kali pemilihan umum. Yang pertama ialah pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di parlemen Majelis Permusyawatan Rakyat atau MPR. Dan pemilihan umum yang kedua diselenggarakan untuk memilih presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Pelaksanaan pemilu sendiri digelar pada tanggal 9 April 2009 untuk pemilihan umum wakil-wakil rakyat di dewan legislatif Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pada tanggal 8 Juli 2009 untuk pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia

Pemilihan Umum merupakan salah satu pesta demokrasi di Indonesia. Diselenggarakan untuk menghargai pendapat rakyat dalam menentukan pemimpin negara dan wakil-wakil mereka. Sedangkan pengertian kampanye sendiri ialah suatu tindakan yang bersifat dan bermuatan politik dan dilakukan oleh perorangan maupun kelompok yang terorganisir guna memperoleh dukungan pada suatu pengambilan keputusan

Para wakil rakyat dan pemimpin negara yang maju dalam pemilihan umum kali ini saling berlomba-lomba menggelar kampanye masing-masing. Namun semua pihak sangat mengharapkan apapun bentuk kampanye yang digelar tidak sampai menimbulkan kerusuhan. Karena adanya 2 kali pemilihan umum, maka kampanye yang akan berlangsungpun juga 2 kali yaitu kampanye capres yang digelar oleh mereka yang mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden negara kesatuan republik Indonesia dan kampanye legislatif yang digelar oleh mereka-mereka yang mencalonkan diri untuk menduduki kursi dewan legislatif baik itu di pusat maupun di daerah melalui perwakilan partai masing-masing.

Hal ini pulalah yang agaknya menjadi pemikiran seorang master blogger Indonesia dengan jalan menggelar kontes SEO bertajuk “Kampanye Damai Pemilu Indonesia 2009“
Musim kampanye datang tentunya kita semua mempunyai calon pilihan kita masing masing. Namun kali ini saya ingin mengajak teman teman untuk sedikit santai. Namanya juga kampanye damai pemilu Indonesia, ya kan. Jadi jangan terlalu serius deh

The Prizes for the competition are as follows:

1st Prize: Rp 5.000.000 + 16Gb USB drive
2nd Prize: Rp 2.000.000 + 8 Gb USB drive
3rd Prize: Rp 1.000.000 + 8 Gb USB drive
4th Prize: 8 Gb USB drive
5th Prize: 8 Gb USB drive
6th Prize: 4 Gb USB drive
7th Prize: 4 Gb USB drive
8th Prize: 4 Gb USB drive
9th Prize: 4 Gb USB drive
10th Prize: 4 Gb USB drive


PROMOSI ONLINE !

Read More

Discuss Rohingya in Jakarta

Thai Prime Minister Abhisit Vejjajiva, starting a two-day visit to Jakarta today, said that the issue of Rohingya boat people will be on the agenda when he meets with his Indonesian counterpart, according to Thai media reports.

“During this trip we will discuss the Rohingya,” Abhisit told reporters before leaving for Jakarta, where he will hold talks on a range of subjects with Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono.

Abhisit, whose government has been under pressure to address allegations that Thai authorities mistreated Rohingya boat people earlier this year, has stressed that other countries also need to bear some responsibility for the plight of this displaced Muslim minority from Burma.

“This is not our problem alone. It’s a problem that all Asean members must solve together,” Abhisit said in an interview earlier this month, referring to the Association of Southeast Asian Nations, of which Thailand and Indonesia are members.

The Rohingya issue will also be on the agenda during Asean’s annual summit, which is
set to be held in Thailand on February 27.

In a sign of the growing international attention this issue has attracted, Australian Foreign Minister Stephen Smith said following a meeting with his Indonesian counterpart in Sydney on Thursday that the two countries “welcomed the fact that the question of the Rohingyas will form part of the forthcoming ministerial meeting of the Bali Process.”

The Bali Process is 38-nation regional network formed in 2002 to address human trafficking issues. It is expected to meet again in March or April.

Indonesia has been especially sensitive to the Rohingya issue because it has been forced to host some 400 boat people who washed up on its shores in January. They claimed that they had been abused by the Thai navy and left to die after being towed out to sea in engineless boats.

Jakarta has not yet decided if they will deport the Rohingya to Burma, where they are likely to suffer human rights abuses at the hands of the Burmese military authorities.

Thailand, which is both a destination and a transit route for many illegal migrants, especially from Burma, is currently holding around 1,000 Rohingya who have landed in the country since last year.

Meanwhile, in Malaysia, another country that many Rohingya have fled to, prominent opposition leader Anwar Ibrahim has called on the international community to “take quick and decisive action to help alleviate their plight.”

“Countries in Asean, neighbors of [Burma] as well as multilateral institutions can no longer remain oblivious to the humanitarian tragedy that is unfolding before their eyes,” Anwar said in a statement released on February 22.


PROMOSI ONLINE !

Read More

Who Are the Rohingya?

Burma’s frontier areas are home to many ethnic groups that have historically existed on both sides of the country’s borders with its neighbors. Most are recognized as citizens of the countries where they reside; even military-ruled Burma is willing to accept that many non-Burman minorities have a right to call the country their home.

There are, of course, some notable exceptions. For instance, the Pashu, descendents of Muslim Malays living in Tenasserim Division, in Burma’s far south, are not regarded by the current regime as Burmese citizens, even though they were designated by the country’s post-independence government as one of Burma’s 143 ethnic groups.

Likewise, the Kaman, descendants of 17th-century Muslim mercenaries living on Ramree Island in Arakan State, have been denied the rights of citizenship since the beginning of Burma’s socialist era in 1962. To this day, they are not issued national identity cards or permitted to travel freely to other parts of the country, even when they are in need of emergency medical treatment.

By contrast, the Kokang, an ethnic Han Chinese group who have lived in Shan State since the 18th century, occupy their own “Special Region” and enjoy official status as a recognized ethnic group under the ruling junta, despite their obviously foreign origins.

What are we to make of these disparities? Are we to conclude that the Pashu and the Kaman have no place in Burmese society because of their religion, whereas the non-Muslim Kokang are perfectly acceptable members of a multiethnic Burma?

As a Burmese Muslim, this is more than an academic question for me. But rather than personalize this issue, I would like to examine it objectively, and consider how it applies to the plight of the Rohingya, a group that has become one of the most reviled in Burma.

Before we address the question of whether the Rohingya are truly Burmese or not, perhaps I should first ask if, in the eyes of my readers, they are even human. I would hope that most agree with me that they are, indeed, human beings who deserve to be treated as such. But there are some who seem to disagree. The authors of a well-known anti-Rohingya book, “Influx Virus,” for instance, liken these people to a disease that is infecting Burma. Such extreme views are not, alas, uncommon among those who would deny the Rohingya their basic human rights.

Another issue that has generated much unnecessary controversy is the word “Rohingya” itself. There are many who question the right of the Rohingya to identify themselves as such, preferring to refer to them as Chittagonians, Bengalis or even kala, a derogatory term for people of South Asian origin. But putting aside the question of their status in Burma, shouldn’t we at least be willing to call the Rohingya by the name they have chosen for themselves, just as we do with other peoples around the world?

When we consider the status of the Rohingya in Burma today, it is worth noting that this question is more controversial now than it was six decades ago, when the country first regained its independence.

At that time, a number of Rohingya were democratically elected to Burma’s post-colonial parliament and many held high-level government positions. Sao Shwe Thike, the first president of independent Burma, said that if the Muslims of Arakan State could not be considered a distinct ethnic group, then neither could his own Shan people.

School textbooks matter-of-factly identified the Rohingya as one of the nation’s 143 ethnic groups. And from 1961 to 1965, the Burmese Broadcasting Service even had a Rohingya-language program.

But this state of affairs began to change under the rule of Gen Ne Win, who seized power in a military coup in 1962. It was argued that the Anti-Fascist People’s Freedom League, the main ruling party during the era of Burma’s parliamentary democracy, recognized the Rohingya as an ethnic group merely in order to get their votes. The Rohingya came to be regarded as economic migrants from Bangladesh; if they were allowed to settle in Arakan State, alarmists asserted, it would only open the floodgates and soon all of Burma would be overwhelmed.

Another consideration for the increasingly xenophobic regime in Rangoon was the rapidly expanding populations of neighboring India and China. This made it imperative to ensure that ethnic groups in borders areas, particularly the Rohingya and the Kokang, were securely under the government’s control. In the case of the Rohingya, suspicions that some harbored an extreme Islamicist agenda made them especially susceptible to pressure from the country’s security apparatus.

Whatever the arguments against recognizing the Rohingya as Burmese citizens, it is clear that the government’s policies towards them are fraught with contradictions.

Although the regime that currently rules Burma categorically denies that the Rohingya are a Burmese ethnic group, it is often obliged to accept Rohingya migrants who have been deported by neighboring countries. If they did not originally come from Burma, why would the junta allow them to be sent back there?

We might also ask why the regime persists in persecuting the Rohingya and pushing them out of Burma if they are just going to keep taking them back. The answer to this question is twofold.

The first reason for the junta’s seemingly erratic Rohingya policy is that it fits with the regime’s modus operandi throughout the country. That is, it actively seeks to stir up instability in order to justify its iron-fisted rule. Mass migrations under duress create the perfect conditions for a regime that knows its survival depends on keeping the general population in a constant state of anxiety.

The second reason for targeting the Rohingya is more specific to conditions in Arakan State. The Arakanese people are among the most nationalistic in Burma. Although they are closely related to the dominant ethnic Burmans, history and geography have given them a distinct identity. They have no love for the country’s rulers in central Burma, and are often at the forefront of anti-government movements.

At the same time, however, the predominantly Buddhist Arakanese are fiercely proud of their culture and extremely resistant to what they see as incursions by Muslims from neighboring Bangladesh. Their fear of an Islamic invasion surpasses their loathing for the Burmese regime—a fact that the junta is more than happy to exploit.

Such attitudes towards the Rohingya present a significant challenge for Burma’s future, since even in the event of a transition to democracy, tensions are likely to persist.

Everyone who believes that democracy, respect for fundamental human rights and ethnic equality are the foundations for a more stable and prosperous Burma must ask where the Rohingya are supposed to fit into this equation. But sadly, many act as if the best way to deal with the “Rohingya problem” is to let the ruling generals “solve” it in their usual, brutal fashion, so that future generations won’t have to worry about it.

In a recent interview, one Rohingya who survived a terrifying ordeal at sea while attempting to flee the country said, “I can no longer live in Burma. Every day the government gives us trouble. I left there, thinking that it would be better if I died at sea.”

But no matter how many are driven to such desperate conclusions, the Rohingya aren’t simply going to disappear. For the sake of Burma’s future, it would be better to learn to live with them in peace. And the best way to do that is to start treating them with decency and compassion now.

Aung Tin is a Vancouver, Canada-based Burmese activist. This commentary was translated from Burmese.
Source :Save Rohingya


PROMOSI ONLINE !

Read More